PROLEMATIKA
BURUH TERHADAP PEREKONOMIAN
*Rusliana
Nurhayati
Perselisihan
hubungan industrial adalah perbedaan pendapat atau perselisihan pengusaha
dengan pekerja. Biasanya perselisihan terjadi berkaitan dengan syarat-syarat
kerja contohnya pemenuhan hak-hak pekerja dan atau serikat pekerja, harapan
atau kepentingan pekerja, dan pemutusan hubungan kerja, serta perselisihan
antar pekerja di satu perusahaan. Terdapat jenis perselisihan Hubungan
Industrial yaitu :
1. Perselisihan
Hak yaitu perselisihan yang akan timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat
adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan
perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian
kerja bersama.
2. Perselisihan
Kepentingan yaitu perselisihan yang akan timbul dalam hubungan kerja karena
tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai perbuatan atau perubahan
syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja atau peraturan
perusahaan atau perjanjian kerja bersama
3. Perselisihan
Pemutusan Hubungan Kerja yaitu perselisihan yang biasa timbul karena tidak
adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan
oleh salah satu pihak
4. Perselisihan
Antar Serikat Pekerja atau Serikat Buruh Dalam Satu Perusahaan yaitu
perselisihan antar Serikat Pekerja atau Serikat Buruh dengan Serikat Pekerja
atau Serikat Buruh lain hanya dalam satu perusahaan, karena tidak adanya
kesesuaian pemahaman mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak dan kewajiban ke
serikat pekerjaan. Pembagian perselisihan hubungan industrial menjadi beberapa
klasifikasi mensyaratkan bahwa pengetahuan dalam membedakan jenis perselisihan.
Realita
yang terjadi saat ini menggambarkan bahwa tidak selalu hubungan industrial
berjalan dengan baik dan lancar. Setiap hubungan industrial akan terjadi
perbedaan pendapat maupun kepentingan antara pengusaha dan pekerja atau buruh
yang dapat menimbulkan suatu perselisihan atau konflik. Pengusaha memberikan
kebijakan yang menurutnya benar tetapi pihak pekerja atau buruh menganggap
bahwa kebijakan yang telah ditetapkan oleh pengusaha tersebut merugikan mereka.
Analisis
menggunakan pendekatan teori konflik dari Marx, Marx mengatakan bahwa dalam
relasi reproduksi ada pemilik modal dan buruh. Dari kedua kelompok masyarakat
industri tersebut menghasilkan profit bagi pemilik modal dan eksploitasi kaum
buruh. Sehingga sistem penguasaan sistem capital. Adanya hubungan anatara buruh
dan pemilik modal sehingga terjadinya konflik sosial masyarakat dan eksploitasi
di kaum buruh itu sendiri
Indonesia juga
mengalami masalah yang sama, apalagi Indonesia merupakan negara yang
menggunakan sistem padat karya. Guncangan krisis moneter beberapa tahun lalu
juga memperparah keadaan ekonomi Indonesia yang mempengaruhi hubungan
industrial perusahaan-perusahaan yang berkembang di Indonesia. Dengan
perkembangan tersebut jumlah buruh semakin meningkat dan hak-hak buruh semakin
perlu diperhatikan baik oleh pemerintah, perusahaan maupun oleh organisasi
buruh itu sendiri. Problematika yang muncul akibat hal yang dirasa tidak adil
1. Problem Upah
Menurut UU No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, buruh
adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk
lain. Sebagai tenaga kerja yang tidak memiliki alat produksi, buruh
mengandalkan pemilik modal sebagai tempat mencari upah. Kebutuhan hidup yang
semakin meningkat sementara upah yang diterima relative tetap menjadi salah
satu pendorong gerakan protes kaum buruh (pekerja).
Salah satu contoh
studi kasus yang terjadi di Indonesia mengenai upah per jam. Hal tersebut
disambut berbagai respon dari parah buruh. Beberapa buruh menolak kebijakan
tersebut mereka beranggapan bahwasanya skema upah perjam yang dilakukan pada
Negara maju memiliki beberapa persyaratan. Diantaranya adalah jika pasokan dan
permintaan terhadap tenaga kerja rendah artinya perekonomian Negara tersebut
telah mencapai titik keseimbangan lantaran lapangan kerja sangat terbuka.
“ Dengan kecilnya itu orang pindah-pindah
kerja gampang karena tersedianya lapangan pekerjaan,angka pengangguran kecil
dengan demikian upah perjam bisa megukur produktifitas. Indonesia tidak punya ”
Selain itu ,
sistem pengupahan tersebut pada dasarnya hanya dapat menyasar sector-sektor
pekerjaan tertentu. Pengupahan dengan sistem per jam tersebut ditegaskan tidak
bisa disamaratakan untuk semua jenis perusahaan.
2. Problem
Pemenuhan Kebutuhan dan Kesejahteraan HIdup
Kebutuhan mendasar
manusia adalah semua kebutuhan dasar yang menyangkut dimensi manusia meliputi
kebutuhan material, kesehatan, kebutuhan sosial
hingga kebutuhan untuk mengaktualisasikan sebagai manusia.
Hak pemenuhan
kebutuhan hidup didasarkan pada fakta bahwa manusia adalah makhluk biologis,
yang memiliki kebutuhan dasar biologis meliputi kebutuhan kecukupan
makanan,perlindungan, pakaian,perawatan medis, dan pendidikan. Ketika para
pekerja/buruh hanya memiliki sumber pendapatan berupa upah, maka penyampaian
kesejahteraan bergantung pada kemampuan upah dalam memenuhi berbagai kebutuhan
hidupnya. Dalam kenyataan jumlah upah relative tetap, sementara kebutuhan hidup
selalu bertambahn seperti biaya pendidikan,perumahan, sakit, tunjangan,dll. Hal
ini menyebabkan kualitas kesejahteraan rakyat termasuk pekerja/buruh semakin
rendah.
3.
Problem Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
PHK adalah salah satu persoalan
besar yang dihadapi oleh kaum pekerja/buruh. PHK menjadi hal yang menakutkan
bagi kaum pekerja/buruh dan menambah kontribusi bagi pengangguran di Indonesia.
Dalam kondisi ketika tidak terjadi ketidakseimbangan posisi tawar menawar dan
pekerjaan merupakan satu-satunya sumber pendapatan untuk hidup, maka PHK
menjadi bencana besar yang dapat membuat buruh menjadi traumatis. Problem PHK biasanya
terjadi dan menimbulkan problem lain yang lebih besar dikalangan buruh karena
beberapa kondisi dalam hubungan buruh-pengusaha. Sebenarnya, PHK bukanlah
problem yang besar kalau kondisi sistem hubungan pekerja/buruh dan pengusaha
telah seimbang dan adanya jaminan kebutuhan pokok bagi pekerja/buruh
sebagaimana bagi seluruh rakyat oleh sistem pemerintahan yang menjadikan
pemenuhan kebutuhan dasar rakyat sebagai asas politik perekonomiannya.
Hal
ini menyebabkan munculnya banyak laporan pekerja terkait pengaduan-pengaduan
keberatan mengenai PHK. yang ditujukan kepada perusahaan. Salah satunya terjadi
di Kota Depok. Menurut Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) dari puluhan kasus yang
ditangani kasus PHK sangat mendominasi hanya 20 kasus terkait masalah sengketa
indutrial berhasil diselesaikan. Laporan-laporan tersebut mayoritas berisi
keberatan pegawai yang tidak terima di PHK seperti tidak terima di PHK sepihak,
upah PHK yang lama dibayar oleh perusahaan,dll. Selain itu PHK juga dapat
meningkatkan pengangguran pekerja di Indonesia.
4. Problem Tunjangan
Sosial dan Kesehatan
Dalam masyarakat kapitalis
seperti saat ini, tugas negara lebih pada fungsi regulasi, yakni pengatur
kebebasan warga negaranya. Sistem ini tidak mengenal tugas negara sebagai
pengurus dan penanggung jawab pemenuhan kebutuhan dasar rakyatnya. Rakyat yang
ingin memenuhi kebutuhannya harus bekerja secara mutlak, baik untuk memenuhi
kebutuhan dasarnya maupun kebutuhan pelengkapnya. Jika seseorang terkena
bencana atau kebutuhan hidupnya meningkat, ia harus bekerja lebih keras secara
mutlak. Begitu pula ketika ia sudah tidak mampu bekerja karena usia,
kecelakaan, PHK atau sebab lainnya, maka ia tidak punya pintu pemasukan dana
lagi. Kondisi ini akan menyebabkan kesulitan hidup, terutama bagi rakyat yang
sudah tidak dapat bekerja atau bekerja dengan upah yang minim sehingga tidak
dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.
5. Problem Lapangan Pekerjaan
Kelangkaan pekerjaan bisa
terjadi ketika muncul ketidakseimbangan antara jumlah calon pekerja/buruh yang banyak,
sedangkan lapangan pekerjaan relatif sedikit, atau banyaknya lapangan kerja,
tapi kualitas tenaga kerja pekerja/buruh yang ada tidak sesuai dengan kualitas
yang dibutuhkan. Kelangkaan pekerjaan ini dapat menimbulkan gejolak sosial,
angka pengangguran yang tinggi dapat berakibat pada aspek sosial yang lebih
luas.
Upaya
pemerintah untuk mempermudah pelaku usaha dalam mempekerjakan tenaga kerja
ditunjukkan melalui adanya sistem kerja kontrak dan outsourcing yang merugikan
kalangan buruh. Melalui UU No. 13 Tahun 2003 pasal 64 sebagai dasar hukum
sistem outsourcing dan pasal 59 yang menjadi dasar hukum pemberlakuan sistem
kerja kontrak atau Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PWKT).
Sekali
lagi pemerintah menunjukkan orientasinya dalam mengutamakan kelancaran
investasi dan kemudahan berbisnis daripada kesejahteraan buruh. Dengan adanya
fleksibilitas tenaga kerja baik sistem kontrak ataupun outsourcing, pelaku
bisnis dapat dengan mudah mendapatkan tenaga kerja murah tanpa harus
mengkhawatirkan kesejahteraannya.
Tak
ada jaminan kesejahteraan buruh, tak ada tunjangan apabila diberhentikan,
maraknya praktik pengupahan dibawah standar, serta tidak adanya jaminan
keberlanjutan kerja dan jenjang karir adalah beberapa contoh dari dampak
pemberlakuan kebijakan outsourcing dan sistem kontrak. Dapat diduga bahwa
sistem tersebut sarat dengan masalah. Utamanya menyangkut tentang perlakukan
hak-hak dasar buruh. Dalam hubungan kerja melalui outsoucing dapat dipahami
bersama bahwa hubungan kerja yang terjadi berada dalam hubungan tiga pihak.
Alasan yang
mendorong perusahaan untuk lebih jauh dalam meminimalikan komponen biaya buruh
(pengguna sistem oursoucing) dengan
asumsi tingkat upah yang relative lebih rendah dibanding menjadikan pekerja
sebagai pegawai tetap karena dalam operasional. Dan dalam keadaan lain
perusahaan seakan tidak memiliki keharusan untuk mengeluarkan biaya tambahan
guna pelatihan pekerja. Lalu perusahaan juga dapat terhindar dari kewajiban
memberi pesangon, penghargaan masa kerja,lembur,dll.
Di samping itu,
dari hubungan kerja tiga pihak dalam pratik oursourcing, setidaknya telah
membawa pergeseran terhadap beberapa komponen dalam hubungan industrial dimana
kesemuanya bermuara pada pengurangan hak-hak dasar buruh.
1. Status Hubungan
Kerja
·
Buruh tetap yang masa kerjanya lama, ditawari
pesagon dan direkrut kembali menjadi buruh kontrak “outsourcing”
·
PHK missal, kemudian di rektrut kembali dengan
status kontrak “oursoucing”
·
Perpanjangan masa kontrak berulang-ulang.
2. Besaran Upah
·
Upah masksimum sebesar UMK
·
Upah berdasarkan target produksi
·
Pemotongan upah oleh agen penyalur 10%
3. Jam Kerja
·
Waktu kerja semakin panjang
·
Kelebihan jam kerja tidak dihitung lembur
·
Sering berubah/pindah sesuai kebutuhan
perusahaan
4. Jaminan Sosial
dan Kesehatan
·
Tidak mendapatkan jaminan sosial dan penggantian
biaya kesehatan
·
Tidak diikutsertakan dalam program jamsostek
5. Keanggotaan
Dalam Serikat Buruh
·
Ruang gerak beroganisasi relative terbatas
dibanding buruh tetap.
Mengenai hubungan
industrial di Indonesia terhadap perekonomian, relasi antara buruh, pemilik
modal, dan pemerintah saling berkaitan
a). Hilangnya
Demokrasi Buruh
Melalui
SK Menteri Perindustrian No. 620 Tahun 2012 yang mengatur pelarangan
demonstrasi pada 14 kawasan industri Obek Vital Nasional. Pembatasan tersebut
merupakan pelanggaran terhadap hak-hak demokrasi buruh. Pembatasan tersebut
dilakukan oleh perusahaan untuk membendung aksi pemberontakan yang dilakukan
oleh buruh terhadap kebijakan yang dikeluarkan oleh perusahaan. Bagi
pemerintah, adanya pembatasan dalam berdemonstrasi merupakan upaya untuk
memastikan iklim kondusif demi lancarnya arus investasi.
Seringkali
pemerintah mengatasnamakan investasi dan pembangunan untuk membendung upaya
masyarakat yang berjuang membela kepentingannya. Hal serupa juga dialami oleh
buruh. Mereka mengalah, mengikuti kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah
yang katanya demi kepentingan masyarakat luas
.
b).
Politik Upah
Mimpi
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia hanyalah jargon saja tanpa adanya
usaha konkrit untuk merealisasikannya. Melalui PP No. 78 Tahun 2015 tentang
pengupahan, pemerintah menetapkan sebuah formula mengenai standarisasi upah
minimum bagi buruh yang berdasar data inflasi nasional dan pertumbuhan ekonomi
nasional yang bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS).
Pemberlakuan
aturan tersebut menjadi bukti bahwa pemerintah mengambil perspektif pemilik
modal dalam penerapan aturan. Dengan dalih untuk menjaga arus investasi,
pemerintah melibatkan buruh dalam kondisi perekonomian global. Penyesuaian upah
terhadap kondisi perekonomian global menguntungkan pemilik modal untuk
mempertahankan akumulasi kapital yang masuk ke kantongnya.
Sekali lagi, buruh harus berkorban demi kepentingan
pemerintah untuk memperlancar arus investasi demi pembangunan nasional. Untuk
menjaga aliran investasi masuk, pemerintah membuat kebijakan yang hanya
menguntungkan pemilik modal. Mereka dapat mempertahankan jumlah nilai lebih
yang didapatkan dari kerja buruh.
Problematika
buruh salah satunya ialah perselisihan dengan pemilik modal (perusahaan) contoh
studi kasus yang bisa dijadikan sebuah gambaran yaitu konflik buruh driver gojek dengan PT Go-Jek
Indonesia. Analisis konflik yang terjadi antara buruh driver gojek dengan PT
Go-Jek, ada tiga tuntutan buruh/pekerja terhadap PT Go-Jek, yaitu pengembalian
tarif ke harga semula, diangkat menjadi karyawan, dan transparansi dana. Tidak
semua perselisihan yang terjadi antara pekerja dengan pemilik bermaksud
negatif, hal tersebut terbukti pada konflik yang terjadi antara driver gojek dan PT Go-Jek Indonesia. Sebagai
perusahaan yang berbasis teknologi sudah seharusnya perusahaan menjaga struktur
sosial yang baik antara buruh driver gojek dengan perusahaan, dengan tujuan terjalin
hubungan yang harmonis antara buruh dan perusahaan. Sehingga dengan hubungan
yang harmonis tersebut akan terwujudnya pelayanan yang cepat, inovasi dan
berdampak sosial. Konflik bukan semata menimbulkan perpecahan tetapi menguatkan
struktur yang ada di PT Go-Jek itu sendiri.
Melihat permasalahan
ketenagakerjaan diatas, tentu saja membutuhkan pemecahan yang baik dan
sistematis, karena permasalahan tenaga kerja bukan lagi permasalahan individu
yang bisa diselesaikan dengan pendekatan individual, tetapi merupakan persoalan
sosial, yang akhirnya membutuhkan penyelesaian yang mendasar dan menyeluruh.
Persoalan yang sangat erat hubungannya dengan fungsi dan tanggung jawab
negara untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya harus diselesaikan melalui kebijakan
dan pelaksanaan oleh negara bukan diselesaikan oleh pekerja/buruh dan
pengusaha. Sedangkan masalah hubungan kerja dapat diselesaikan oleh
pekerja/buruh dan pengusaha. Menghadapi permasalahan yang ada maka pemerintah
tidak cukup dengan hanya merevisi perundang-undangan, melainkan mesti mengacu
kepada akar permasalahan ketenagakerjaan itu sendiri. Yang terpenting adalah
pemerintah tidak boleh melepaskan fungsinya untuk melindungi dan memberikan
kesejahteraan bagi rakyatnya adalah hal ini kesejahteraan bagi pekerja/buruh. *Penulis merupakan
mahasiswa Semester IV, Mata Kuliah Hubungan Industrial, Prodi Ilmu Komunikasi,
FISIP, UNTIRTA
Referensi
Referensi
Dahlia Riza, Wiwin Dinar Prastiti,Dkk.2007. Konflik
Hubungan Industrial.9(2) : 70
Ashari Ahmad, Novalinda
Fajar Astari,Dkk. 2018.Penyelesaian Perselisihan Karyawan Malalui
Media (Studi Kasus Di Toko House Of Celana). 12 (2) :126
Munir
Abdul.2013.Viktimitasi Struktural
Terhadap Buruh Melalui Sistem Outsourcing (Kasus: Buruh Outsourcing PT ‘X’ yang
dipekerjakan Oleh PT ‘Y’.(Tesis Kriminologi, Fisipol-UI.
Randi. Buruh VS Perusahaan (Studi
Kasus Konflik Buruh/Pekerja Driver Go-Jek dengan PT Go-Jek Indonesia). 7(2) :
10
Taufank.2019.Relasi Antara Buruh, Pemerintah,Dan Pemilik
Modal di https://geotimes.co.id/opini/relasi-antara-buruh-pemerintah-dan-pemilik-modal/ (akses 12 Februari 2020)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar