Jumat, 14 Februari 2020

HUBUNGAN INDUSTRIAL

PROLEMATIKA BURUH TERHADAP PEREKONOMIAN
*Rusliana Nurhayati

Perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat atau perselisihan pengusaha dengan pekerja. Biasanya perselisihan terjadi berkaitan dengan syarat-syarat kerja contohnya pemenuhan hak-hak pekerja dan atau serikat pekerja, harapan atau kepentingan pekerja, dan pemutusan hubungan kerja, serta perselisihan antar pekerja di satu perusahaan. Terdapat jenis perselisihan Hubungan Industrial yaitu :


1.      Perselisihan Hak yaitu perselisihan yang akan timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

2.      Perselisihan Kepentingan yaitu perselisihan yang akan timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai perbuatan atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama

3.      Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja yaitu perselisihan yang biasa timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak

4.      Perselisihan Antar Serikat Pekerja atau Serikat Buruh Dalam Satu Perusahaan yaitu perselisihan antar Serikat Pekerja atau Serikat Buruh dengan Serikat Pekerja atau Serikat Buruh lain hanya dalam satu perusahaan, karena tidak adanya kesesuaian pemahaman mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak dan kewajiban ke serikat pekerjaan. Pembagian perselisihan hubungan industrial menjadi beberapa klasifikasi mensyaratkan bahwa pengetahuan dalam membedakan jenis perselisihan.

Realita yang terjadi saat ini menggambarkan bahwa tidak selalu hubungan industrial berjalan dengan baik dan lancar. Setiap hubungan industrial akan terjadi perbedaan pendapat maupun kepentingan antara pengusaha dan pekerja atau buruh yang dapat menimbulkan suatu perselisihan atau konflik. Pengusaha memberikan kebijakan yang menurutnya benar tetapi pihak pekerja atau buruh menganggap bahwa kebijakan yang telah ditetapkan oleh pengusaha tersebut merugikan mereka.
Analisis menggunakan pendekatan teori konflik dari Marx, Marx mengatakan bahwa dalam relasi reproduksi ada pemilik modal dan buruh. Dari kedua kelompok masyarakat industri tersebut menghasilkan profit bagi pemilik modal dan eksploitasi kaum buruh. Sehingga sistem penguasaan sistem capital. Adanya hubungan anatara buruh dan pemilik modal sehingga terjadinya konflik sosial masyarakat dan eksploitasi di kaum buruh itu sendiri
Indonesia juga mengalami masalah yang sama, apalagi Indonesia merupakan negara yang menggunakan sistem padat karya. Guncangan krisis moneter beberapa tahun lalu juga memperparah keadaan ekonomi Indonesia yang mempengaruhi hubungan industrial perusahaan-perusahaan yang berkembang di Indonesia. Dengan perkembangan tersebut jumlah buruh semakin meningkat dan hak-hak buruh semakin perlu diperhatikan baik oleh pemerintah, perusahaan maupun oleh organisasi buruh itu sendiri. Problematika yang muncul akibat hal yang dirasa tidak adil



1. Problem Upah
Menurut UU No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Sebagai tenaga kerja yang tidak memiliki alat produksi, buruh mengandalkan pemilik modal sebagai tempat mencari upah. Kebutuhan hidup yang semakin meningkat sementara upah yang diterima relative tetap menjadi salah satu pendorong gerakan protes kaum buruh (pekerja).

Salah satu contoh studi kasus yang terjadi di Indonesia mengenai upah per jam. Hal tersebut disambut berbagai respon dari parah buruh. Beberapa buruh menolak kebijakan tersebut mereka beranggapan bahwasanya skema upah perjam yang dilakukan pada Negara maju memiliki beberapa persyaratan. Diantaranya adalah jika pasokan dan permintaan terhadap tenaga kerja rendah artinya perekonomian Negara tersebut telah mencapai titik keseimbangan lantaran lapangan kerja sangat terbuka.

“ Dengan kecilnya itu orang pindah-pindah kerja gampang karena tersedianya lapangan pekerjaan,angka pengangguran kecil dengan demikian upah perjam bisa megukur produktifitas. Indonesia tidak punya ”

Selain itu , sistem pengupahan tersebut pada dasarnya hanya dapat menyasar sector-sektor pekerjaan tertentu. Pengupahan dengan sistem per jam tersebut ditegaskan tidak bisa disamaratakan untuk semua jenis perusahaan.

2. Problem Pemenuhan Kebutuhan dan Kesejahteraan HIdup
Kebutuhan mendasar manusia adalah semua kebutuhan dasar yang menyangkut dimensi manusia meliputi kebutuhan material, kesehatan, kebutuhan sosial  hingga kebutuhan untuk mengaktualisasikan sebagai manusia.



Hak pemenuhan kebutuhan hidup didasarkan pada fakta bahwa manusia adalah makhluk biologis, yang memiliki kebutuhan dasar biologis meliputi kebutuhan kecukupan makanan,perlindungan, pakaian,perawatan medis, dan pendidikan. Ketika para pekerja/buruh hanya memiliki sumber pendapatan berupa upah, maka penyampaian kesejahteraan bergantung pada kemampuan upah dalam memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya. Dalam kenyataan jumlah upah relative tetap, sementara kebutuhan hidup selalu bertambahn seperti biaya pendidikan,perumahan, sakit, tunjangan,dll. Hal ini menyebabkan kualitas kesejahteraan rakyat termasuk pekerja/buruh semakin rendah.

3. Problem Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)

PHK adalah salah satu persoalan besar yang dihadapi oleh kaum pekerja/buruh. PHK menjadi hal yang menakutkan bagi kaum pekerja/buruh dan menambah kontribusi bagi pengangguran di Indonesia. Dalam kondisi ketika tidak terjadi ketidakseimbangan posisi tawar menawar dan pekerjaan merupakan satu-satunya sumber pendapatan untuk hidup, maka PHK menjadi bencana besar yang dapat membuat buruh menjadi traumatis. Problem PHK biasanya terjadi dan menimbulkan problem lain yang lebih besar dikalangan buruh karena beberapa kondisi dalam hubungan buruh-pengusaha. Sebenarnya, PHK bukanlah problem yang besar kalau kondisi sistem hubungan pekerja/buruh dan pengusaha telah seimbang dan adanya jaminan kebutuhan pokok bagi pekerja/buruh sebagaimana bagi seluruh rakyat oleh sistem pemerintahan yang menjadikan pemenuhan kebutuhan dasar rakyat sebagai asas politik perekonomiannya.

Hal ini menyebabkan munculnya banyak laporan pekerja terkait pengaduan-pengaduan keberatan mengenai PHK. yang ditujukan kepada perusahaan. Salah satunya terjadi di Kota Depok. Menurut Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) dari puluhan kasus yang ditangani kasus PHK sangat mendominasi hanya 20 kasus terkait masalah sengketa indutrial berhasil diselesaikan. Laporan-laporan tersebut mayoritas berisi keberatan pegawai yang tidak terima di PHK seperti tidak terima di PHK sepihak, upah PHK yang lama dibayar oleh perusahaan,dll. Selain itu PHK juga dapat meningkatkan pengangguran pekerja di Indonesia.

4. Problem Tunjangan Sosial dan Kesehatan
Dalam masyarakat kapitalis seperti saat ini, tugas  negara lebih pada fungsi regulasi, yakni pengatur kebebasan warga negaranya. Sistem ini tidak mengenal tugas negara sebagai pengurus dan penanggung jawab pemenuhan kebutuhan dasar rakyatnya. Rakyat yang ingin memenuhi kebutuhannya harus bekerja secara mutlak, baik untuk memenuhi kebutuhan dasarnya maupun kebutuhan pelengkapnya. Jika seseorang terkena bencana atau kebutuhan hidupnya meningkat, ia harus bekerja lebih keras secara mutlak. Begitu pula ketika ia sudah tidak mampu bekerja karena usia, kecelakaan, PHK atau sebab lainnya, maka ia tidak punya pintu pemasukan dana lagi. Kondisi ini akan menyebabkan kesulitan hidup, terutama bagi rakyat yang sudah tidak dapat bekerja atau bekerja dengan upah yang minim sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.

5. Problem Lapangan Pekerjaan

Kelangkaan pekerjaan bisa terjadi ketika muncul ketidakseimbangan antara jumlah calon pekerja/buruh yang banyak, sedangkan lapangan pekerjaan relatif sedikit, atau banyaknya lapangan kerja, tapi kualitas tenaga kerja pekerja/buruh yang ada tidak sesuai dengan kualitas yang dibutuhkan. Kelangkaan pekerjaan ini dapat menimbulkan gejolak sosial, angka pengangguran yang tinggi dapat berakibat pada aspek sosial yang lebih luas.

Upaya pemerintah untuk mempermudah pelaku usaha dalam mempekerjakan tenaga kerja ditunjukkan melalui adanya sistem kerja kontrak dan outsourcing yang merugikan kalangan buruh. Melalui UU No. 13 Tahun 2003 pasal 64 sebagai dasar hukum sistem outsourcing dan pasal 59 yang menjadi dasar hukum pemberlakuan sistem kerja kontrak atau Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PWKT).

Sekali lagi pemerintah menunjukkan orientasinya dalam mengutamakan kelancaran investasi dan kemudahan berbisnis daripada kesejahteraan buruh. Dengan adanya fleksibilitas tenaga kerja baik sistem kontrak ataupun outsourcing, pelaku bisnis dapat dengan mudah mendapatkan tenaga kerja murah tanpa harus mengkhawatirkan kesejahteraannya.

Tak ada jaminan kesejahteraan buruh, tak ada tunjangan apabila diberhentikan, maraknya praktik pengupahan dibawah standar, serta tidak adanya jaminan keberlanjutan kerja dan jenjang karir adalah beberapa contoh dari dampak pemberlakuan kebijakan outsourcing dan sistem kontrak. Dapat diduga bahwa sistem tersebut sarat dengan masalah. Utamanya menyangkut tentang perlakukan hak-hak dasar buruh. Dalam hubungan kerja melalui outsoucing dapat dipahami bersama bahwa hubungan kerja yang terjadi berada dalam hubungan tiga pihak.



Alasan yang mendorong perusahaan untuk lebih jauh dalam meminimalikan komponen biaya buruh (pengguna sistem oursoucing)  dengan asumsi tingkat upah yang relative lebih rendah dibanding menjadikan pekerja sebagai pegawai tetap karena dalam operasional. Dan dalam keadaan lain perusahaan seakan tidak memiliki keharusan untuk mengeluarkan biaya tambahan guna pelatihan pekerja. Lalu perusahaan juga dapat terhindar dari kewajiban memberi pesangon, penghargaan masa kerja,lembur,dll.

Di samping itu, dari hubungan kerja tiga pihak dalam pratik oursourcing, setidaknya telah membawa pergeseran terhadap beberapa komponen dalam hubungan industrial dimana kesemuanya bermuara pada pengurangan hak-hak dasar buruh.

1. Status Hubungan Kerja
·         Buruh tetap yang masa kerjanya lama, ditawari pesagon dan direkrut kembali menjadi buruh kontrak “outsourcing”
·         PHK missal, kemudian di rektrut kembali dengan status kontrak “oursoucing”
·         Perpanjangan masa kontrak berulang-ulang.

2. Besaran Upah
·         Upah masksimum sebesar UMK
·         Upah berdasarkan target produksi
·         Pemotongan upah oleh agen penyalur 10%

3. Jam Kerja
·         Waktu kerja semakin panjang
·         Kelebihan jam kerja tidak dihitung lembur
·         Sering berubah/pindah sesuai kebutuhan perusahaan

4. Jaminan Sosial dan Kesehatan
·         Tidak mendapatkan jaminan sosial dan penggantian biaya kesehatan
·         Tidak diikutsertakan dalam program jamsostek

5. Keanggotaan Dalam Serikat Buruh
·         Ruang gerak beroganisasi relative terbatas dibanding buruh tetap.

Mengenai hubungan industrial di Indonesia terhadap perekonomian, relasi antara buruh, pemilik modal, dan pemerintah saling berkaitan



a). Hilangnya Demokrasi Buruh
Melalui SK Menteri Perindustrian No. 620 Tahun 2012 yang mengatur pelarangan demonstrasi pada 14 kawasan industri Obek Vital Nasional. Pembatasan tersebut merupakan pelanggaran terhadap hak-hak demokrasi buruh. Pembatasan tersebut dilakukan oleh perusahaan untuk membendung aksi pemberontakan yang dilakukan oleh buruh terhadap kebijakan yang dikeluarkan oleh perusahaan. Bagi pemerintah, adanya pembatasan dalam berdemonstrasi merupakan upaya untuk memastikan iklim kondusif demi lancarnya arus investasi.

Seringkali pemerintah mengatasnamakan investasi dan pembangunan untuk membendung upaya masyarakat yang berjuang membela kepentingannya. Hal serupa juga dialami oleh buruh. Mereka mengalah, mengikuti kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang katanya demi kepentingan masyarakat luas
.
b). Politik Upah

Mimpi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia hanyalah jargon saja tanpa adanya usaha konkrit untuk merealisasikannya. Melalui PP No. 78 Tahun 2015 tentang pengupahan, pemerintah menetapkan sebuah formula mengenai standarisasi upah minimum bagi buruh yang berdasar data inflasi nasional dan pertumbuhan ekonomi nasional yang bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS).
Pemberlakuan aturan tersebut menjadi bukti bahwa pemerintah mengambil perspektif pemilik modal dalam penerapan aturan. Dengan dalih untuk menjaga arus investasi, pemerintah melibatkan buruh dalam kondisi perekonomian global. Penyesuaian upah terhadap kondisi perekonomian global menguntungkan pemilik modal untuk mempertahankan akumulasi kapital yang masuk ke kantongnya. 

Sekali lagi, buruh harus berkorban demi kepentingan pemerintah untuk memperlancar arus investasi demi pembangunan nasional. Untuk menjaga aliran investasi masuk, pemerintah membuat kebijakan yang hanya menguntungkan pemilik modal. Mereka dapat mempertahankan jumlah nilai lebih yang didapatkan dari kerja buruh.
  
Problematika buruh salah satunya ialah perselisihan dengan pemilik modal (perusahaan) contoh studi kasus yang bisa dijadikan sebuah gambaran yaitu konflik buruh driver gojek dengan PT Go-Jek Indonesia. Analisis konflik yang terjadi antara buruh driver gojek dengan PT Go-Jek, ada tiga tuntutan buruh/pekerja terhadap PT Go-Jek, yaitu pengembalian tarif ke harga semula, diangkat menjadi karyawan, dan transparansi dana. Tidak semua perselisihan yang terjadi antara pekerja dengan pemilik bermaksud negatif, hal tersebut terbukti pada konflik yang terjadi antara driver gojek dan PT Go-Jek Indonesia. Sebagai perusahaan yang berbasis teknologi sudah seharusnya perusahaan menjaga struktur sosial yang baik antara buruh driver gojek dengan perusahaan, dengan tujuan terjalin hubungan yang harmonis antara buruh dan perusahaan. Sehingga dengan hubungan yang harmonis tersebut akan terwujudnya pelayanan yang cepat, inovasi dan berdampak sosial. Konflik bukan semata menimbulkan perpecahan tetapi menguatkan struktur yang ada di PT Go-Jek itu sendiri.



Melihat permasalahan ketenagakerjaan diatas, tentu saja membutuhkan pemecahan yang baik dan sistematis, karena permasalahan tenaga kerja bukan lagi permasalahan individu yang bisa diselesaikan dengan pendekatan individual, tetapi merupakan persoalan sosial, yang akhirnya membutuhkan penyelesaian yang mendasar dan menyeluruh. Persoalan  yang sangat erat hubungannya dengan fungsi dan tanggung jawab negara untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya harus diselesaikan melalui kebijakan dan pelaksanaan oleh negara bukan diselesaikan oleh pekerja/buruh dan pengusaha. Sedangkan masalah hubungan kerja dapat diselesaikan oleh pekerja/buruh dan pengusaha. Menghadapi permasalahan yang ada maka pemerintah tidak cukup dengan hanya merevisi perundang-undangan, melainkan mesti mengacu kepada akar permasalahan ketenagakerjaan itu sendiri. Yang terpenting adalah pemerintah tidak boleh melepaskan fungsinya untuk melindungi dan memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya adalah hal ini kesejahteraan bagi pekerja/buruh. *Penulis merupakan mahasiswa Semester IV, Mata Kuliah Hubungan Industrial, Prodi Ilmu Komunikasi, FISIP, UNTIRTA

Referensi
Dahlia Riza, Wiwin Dinar Prastiti,Dkk.2007. Konflik Hubungan Industrial.9(2) : 70

Ashari Ahmad, Novalinda Fajar Astari,Dkk. 2018.Penyelesaian Perselisihan Karyawan Malalui Media (Studi Kasus Di Toko House Of Celana). 12 (2) :126

Munir Abdul.2013.Viktimitasi Struktural Terhadap Buruh Melalui Sistem Outsourcing (Kasus: Buruh Outsourcing PT ‘X’ yang dipekerjakan Oleh PT ‘Y’.(Tesis Kriminologi, Fisipol-UI.
Randi. Buruh VS Perusahaan (Studi Kasus Konflik Buruh/Pekerja Driver Go-Jek dengan PT Go-Jek Indonesia). 7(2) : 10

Taufank.2019.Relasi Antara Buruh, Pemerintah,Dan Pemilik Modal di https://geotimes.co.id/opini/relasi-antara-buruh-pemerintah-dan-pemilik-modal/ (akses 12 Februari 2020)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar